Mediajustitia.com – Kementerian Sekretariat Negara Republik Indonesia mengundang Perkumpulan Konsultan Hukum dan Pengacara Pertambangan Indonesia (PERKHAPPI), Andriansyah Tiawarman K, S.H., M.H., CCD., CMLC., CTLC., C.Med. selaku Sekretariat Jenderal PERKHAPPI, didampingi oleh Dr. Ida Sumarsih, S.H., M.Kn. selaku Kabid Hub Antar Lembaga dan Lingga Nugraha, S.H., M.H., CLA., CMLC selaku Kabid Diklat PERKHAPPI. Pada kesempatan tersebut membahas penguatan regulasi tata kelola hilirisasi komoditas mineral dan batubara. Acara ini berlangsung pada Jum’at, 21 Februari 2025 di Ruang Rapat Sadewa Lantai 3, Gedung Sekretariat Kabinet, Jl. Veteran Nomor 18, Jakarta Pusat.
Salah satu isu utama yang dibahas dalam forum tersebut adalah implementasi Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2020 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara. Undang-undang ini menjadi landasan hukum yang penting dalam memperbaiki tata kelola sektor pertambangan di Indonesia, terutama dalam mendorong hilirisasi komoditas mineral dan batubara agar dapat memberikan nilai tambah yang lebih besar bagi perekonomian nasional.
Sebagai Sekretaris Jenderal PERKHAPPI, Andriansyah Tiawarman K, menggarisbawahi pentingnya regulasi yang jelas dan tegas dalam pengelolaan sektor ini, termasuk dalam hal kewajiban hilirisasi yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2020. Ia menilai bahwa keberhasilan hilirisasi sangat bergantung pada implementasi yang konsisten dari kebijakan-kebijakan tersebut, agar industri dalam negeri bisa mendapatkan manfaat maksimal dari pengolahan dan pemanfaatan sumber daya alam.
Diskusi juga mencakup perubahan penting yang diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 96 Tahun 2021 tentang Pelaksanaan Peraturan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2020, yang kemudian direvisi melalui Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun 2024. Peraturan ini memberikan arahan lebih lanjut mengenai kewajiban pelaku usaha untuk melakukan pengolahan dan pemurnian mineral di dalam negeri, serta memperkuat aturan terkait persyaratan teknis dan pengawasan. Dalam kesempatan tersebut,Andriansyah Tiawarman K, menyatakan bahwa revisi ini merupakan langkah yang positif untuk memperjelas aspek hukum dan mendorong pelaksanaan hilirisasi yang lebih efektif.
Danil Arif Iskandar, Asisten Deputi Bidang Ketenagakerjaan, Investasi, dan Hilirisasi di Kementerian Sekretariat Negara RI, menyatakan bahwa dalam pelaksanaan kebijakan pertambangan, pemerintah memerlukan berbagai perspektif dari berbagai pihak, termasuk para praktisi di sektor pertambangan, untuk memberikan masukan dan saran dalam penyusunan regulasi dan kebijakan pertambangan di Indonesia.
“Saat ini kan ada namanya Global Minimum Tax (GMT) itu kan segitu juga sistem bayarnya. Jadi nanti tergantung pemerintah itu mau ngasih insentif apa lagi di luar itu, gitu. Jadi sekiranya kebijakan insentif apalagi yang sekiranya bisa dibuat pemerintah? Kalau tumpang tindih itu sudah umumlah. Amdal 2-3 tahun itu wajar, tapi itu yang sedang kita perbaiki saat ini,” ucap Danil.
Menanggapi masalah tersebut, Andriansyah mengungkapkan beberapa rekomendasi yang dapat diberikan oleh PERKHAPPI kepada pemerintah. “Setelah kami memaparkan tujuh isu penting di sektor pertambangan, kami juga memiliki tujuh rekomendasi yang dapat menjadi bahan pertimbangan bagi pemerintah,” ujar Andriansyah.
Sebagai solusi atas berbagai tantangan yang ada, PERKHAPPI mengajukan sejumlah rekomendasi strategis. Pertama, pemerintah harus memastikan adanya stabilitas regulasi untuk memberikan kepastian hukum kepada investor dan menghindari perubahan kebijakan secara mendadak. Selain itu, koordinasi antara kebijakan pusat dan daerah perlu diperkuat agar tidak ada tumpang tindih yang dapat menghambat implementasi kebijakan. Kedua, insentif investasi seperti tax holiday dan tax allowance perlu diperluas untuk mempercepat investasi dalam pembangunan smelter dan industri hilir lainnya. Proses perizinan juga harus disederhanakan agar investor tidak terkendala oleh birokrasi yang berlebihan.
Ketiga, pemerintah perlu fokus pada penguatan infrastruktur di daerah penghasil mineral untuk mendukung perkembangan industri hilirisasi secara optimal. Pembangunan infrastruktur energi, jalan, dan pelabuhan harus dipercepat untuk memastikan kelancaran operasional industri hilir. Keempat, hilirisasi harus diperluas untuk mencakup komoditas lain seperti bauksit, tembaga, dan batubara, sehingga manfaat ekonomi dapat lebih merata dan tidak bergantung hanya pada sektor nikel. Kelima, dalam menghadapi tekanan internasional terkait kebijakan hilirisasi, pemerintah perlu memperkuat strategi diplomasi ekonomi, termasuk memperluas kerja sama bilateral dan multilateral untuk mendukung investasi dan transfer teknologi.
Di akhir forum, Andriansyah Tiawarman K, menyampaikan harapannya agar seluruh regulasi yang ada tidak hanya menjadi aturan yang ditulis di atas kertas, tetapi dapat dilaksanakan dengan maksimal. Ia percaya bahwa dengan komitmen yang kuat dari semua pihak, Indonesia dapat mengoptimalkan potensi sumber daya alamnya, serta menciptakan industri pertambangan yang berkelanjutan dan menguntungkan bagi perekonomian negara.